Sejumlah penggiat layanan internet
dunia saat ini sedang disibukkan dengan lahirnya Undang-Undang baru.
Undang-undang yang dimaksud ada dua, Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA) yakni Undang-undang Anti Pembajakan Online
yang kini tengah digodok di Amerika Serikat. Menurut advokat dari
Sheyoputra Law Office, Donny A. Sheyoputra, kedua UU itu sejatinya sudah
lama disiapkan. Hanya saja, baru ramai dibicarakan sekarang lantaran
tengah dalam proses finalisasi. Toh, sejak proses awalnya yakni ketika
masih disusun, yang menentang juga banyak.
"Intinya,
itu adalah UU yang bertujuan untuk memperkecil peluang pembajakan
terutama melalui sektor online atau internet. Masalahnya, sering kali
pembajakan lewat internet kan gak disengaja terjadi. Itu membuat
sebagian kalangan menentang. SOPA itu lebih ke arah internet piracy dan PIPA lebih sebagai kebijakan umum agar IP ditegakkan," jelasnya.
Dilansir Venture Beat, SOPA
dijabarkan nantinya memperbolehkan pemerintah AS dan perusahaan pemegang
hak cipta untuk menargetkan situs asing alias dari luar AS yang
dianggap melakukan pelanggaran, pembajakan atau pemalsuan kekayaan
intelektual.
Contohnya, jika ada website yang
dituding memiliki konten ilegal yang melanggar hak cipta (termasuk di
antaranya lagu, gambar, video klip, dan lainnya), maka situs tersebut
dapat diblokir oleh ISP di AS, tak dicantumkan dari mesin pencarian, dan
bahkan dihadang untuk menjalankan bisnis online dengan penyedia jasa
pembayaran seperti PayPal. Tak pelak, melihat berbagai kemungkinan yang
bisa dilakukannya, banyak pihak yang mengkhawatirkan implementasi dari
UU ini. Sebab secara drastis akan mengubah cara internet beroperasi.
"Kalau terang-terangan jual
produk bajakan, jelas cocok dipidana dengan itu. Tapi kalau diterapkan
mentah-mentah, maka yang tidak sengaja melanggar pun bisa kena. Misalnya
membuat tulisan tetapi lupa menulis sumber kutipannya. Itu bisa
menakutkan sehingga Wikipedia termasuk yang protes," imbuh Donny.
"Jadi yang dianggap berbahaya
adalah peluang terjadinya penyalahgunaan UU itu terhadap mereka yang
sebenarnya tidak sadar melakukan pelanggaran hak cipta karena tidak
tahu," lanjutnya.
Lalu bagaimana dampaknya ke
Indonesia? Menurut mantan Kepala Business Software Alliance (BSA)
Indonesia ini, imbasnya kemungkinan cuma dirasakan secara tidak
langsung. "Misalnya kalau Wikipedia tutup di sana (AS-red.), berarti
kita di sini (Indonesia-red.) tidak bisa mengaksesnya kan?" papar Donny.
Ulah dari pemasang iklan yang menawarkan produk atau materi bajakan
juga bisa menyeret pemilik situs. Dimana akhirnya penyedia space
(pemilik situs) bisa ikut-ikutan dituduh membantu promosi iklan barang
bajakan.
"Nah, ini yang tidak adil.
Padahal internet adalah dunia maya yang maju sangat pesat, sulit
dibendung. Tetapi UU ini memudahkan orang jadi kesandung masalah hukum
karena terlalu luas cakupannya," Donny menjelaskan. Sementara penggiat
internet di Indonesia dinilai belum tentu bisa dipidana karena mereka
berdomisili di Indonesia. Tetapi kalau mereka di AS dan melakukan
pelanggaran hukum di sana, maka UU ini bisa menjerat mereka.
"Kalau ditinjau dari perbedaan
sistem hukum kita dan AS, maka sebenarnya kita tidak terlalu terpengaruh
dengan UU itu karena berlakunya lebih ke arah AS. Tetapi karena
internet tidak ada batasnya, ini menjadi problem tersendiri,"
pungkasnya.
Perdebatan soal SOPA dan PIPA sendiri
di AS sana mengerucut pada dua kubu. Yakni para pendukung aturan ini
yang datang dari kalangan industri hiburan dan Chamber Commerce AS.
Mereka beragumen, pembajakan telah mengusik bisnis mereka sehingga perlu
adanya UU semacam ini. Sementara di sisi berlawanan ada penggiat
layanan internet. Mulai dari Google, Wikipedia, WordPress, hingga
Twitter yang dengan lantang menentang.
Sumber : Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar